Seorang nenek yang sedang menulis surat menasihati cucunya:
"Nenek harap kamu akan seperti pensil ini ketika kamu besar nanti. Pensil ini mempunyai 5 kualitas yang bisa membuatmu selalu tenang dalam menjalani hidup, kalau kamu selalu memegang prinsip-prinsip itu di dalam hidup ini."
Si nenek kemudian menjelaskan 5 kualitas dari sebuah pensil.
"Kualitas pertama, pensil mengingatkan kamu kalau kamu bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Layaknya sebuah pensil ketika menulis, kamu jangan pernah lupa kalau ada tangan yang selalu membimbing langkahmu dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan, Dia akan selalu membimbing kita menurut kehendakNya."
"Kualitas kedua, dalam proses menulis, nenek kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil nenek. Rautan ini pasti akan membuat si pensil menderita. Tapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kamu, dalam hidup ini kamu harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, karena merekalah yang akan membuatmu menjadi orang yang lebih baik."
"Kualitas ketiga, pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk mempergunakan penghapus, untuk memperbaiki kata-kata yang salah. Oleh karena itu memperbaiki kesalahan kita dalam hidup ini, bukanlah hal yang jelek. Itu bisa membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar."
"Kualitas keempat, bagian yang paling penting dari sebuah pensil bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dlm sebuah pensil. Oleh sebab itu, selalulah menyadari hal-hal di dalam dirimu. Instropeksi diri dan jangan menyalahkan org lain terlebih dahulu."
"Kualitas kelima, sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga kamu, harus sadar kalau apapun yang kamu perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan. Oleh karena itu selalulah hati-hati dan sadar terhadap semua tindakan agar tidak menyakiti orang lain."
***
Sudahkah kita mempunyai lima kualitas yang disebut nenek mengenai diri kita? Rasanya belum terlambat untuk berubah selama kita masih mampu dan punya kemauan untuk belajar menjadi seseorang yang lebih baik.
http://www.eduardtria.co.cc/2010/07/kisah-sebuah-pensil.html
Kisah Sebuah Pensil
Pintu Besi dan Sebuah Anak Kunci
Seseorang berkata demikian, „Kekuatan tidak bisa membuka sebuah pintu besi yang besar; tetapi kunci kecil bisa“. Sekilas memang benar pernyataan orang tersebut. Namun, jika kita telaah lebih dalam maksud dari kalimat tersebut, apakah memang demikian? Ini bukanlah soal benar atau salah, tapi yang kita butuhkan disini adalah sebuah cara pandang yang lebih luas untuk kemudian menyimpulkan apakah kalimat ini sesuai atau tidak. Dalam kacamata saya, kekuatan bisa membuka pintu itu tetapi tidak selalu bisa.
Kunci tetap memegang peranan yang sangat penting disebuah benda yang bernama pintu. Namun, kita pun tidak boleh serta merta lupa akan peranan sebuah kekuatan. Keduanya, baik kekuatan atau sebuah anak kunci memegang fungsinya masing-masing. Ketika sebuah pintu dalam keadaan tertutup tetapi tidak terkunci, yang kita butuhkan bukan sebuah kunci. Namun, dengan sedikit kekuatan kita dapat mendorong pintu tersebut agar dapat terbuka. Sebaliknya, ketika sebuah pintu tertutup dan terkunci, yang harus kita temukan pertama kali adalah sebuah kunci yang benar untuk membuat pintu dalam keadaan tidak terkunci, tetapi belum terbuka. Disini, lagi-lagi sebuah kekuatan tetap diperlukan untuk mendorong daun pintu tersebut hingga kemudian benar-benar dalam keadaan terbuka. Jadi, masing-masing saling melengkapi satu sama lain. Baik kekuatan dan kunci tetap diperlukan, bahkan kekuatan memegang peranan yang kadangkala lebih banyak ketimbang anak kunci.
Saya mencoba berandai-andai tentang pintu besi tersebut sebagai sebuah hati yang tertutup rapat bahkan terkunci. Kekuatan saya gambarkan sebagai sebuah motivasi dan semangat untuk bisa membuka hati tersebut. Anak kunci disini sebagai orang yang memiliki hati tersebut. Ketika seseorang mencoba untuk menaklukkan hati manusia lain, orang tersebut sebenarnya bisa melihat apakah hati ini bisa dengan mudah untuk kita tembus atau diperlukan sebuah usaha yang lebih keras untuk membuka dan kemudian menaklukkan hati tersebut. Kekuatan tetap kita perlukan untuk mencari kunci yang diperlukan untuk membuat hati tersebut terbuka kemudian kita dengan mudah dapat masuk kedalamnya. Bukan hal yang mudah, mengingat kunci disini adalah individu si pemilik hati. Berapa pun, sebanyak dan sebesar apapun kekuatan kita untuk membuka pintu hati jikalau sang kunci tidak punya satu niat pun untuk membuka hatinya adalah hal yang sia-sia saja. Kita seperti mencoba menangkap udara dengan tangan kosong. Hampa. Itu kalau kita yang berusaha untuk membuka hati seseorang yang lain. Sebaliknya, ketika kita sendiri yang menjadi anak kunci, dibutuhkan lebih dari sebuah kata bijaksana. Disini, kita akan belajar menghargai sebuah kekuatan walaupun itu kecil. Karena harus kita ingat, sebuah kunci tanpa kekuatan tidak dapat membuka sebuah hati. Bisa terbuka, tetapi tidak cukup lengkap. Keduanya berjalan bersama dan tidak terpisahkan. Dengan melihat kekuatan sebagai motivasi dan semangat orang lain untuk berusaha membuka hati sebagai sebuah kesungguhan, kita harus sadar, bahwa setidaknya kita pun harus memberi kesempatan orang tersebut untuk mengenal hati kita lebih dalam. Bukan malah membiarkannya untuk terus mengetuk-ngetuk pintu tersebut sedangkan kita asyik mendengarkan ketukan tersebut seperti sebuah lagu yang indah. Ini bisa tidak adil. Bagaimana jika kita berada dalam posisi orang yang tengah mengetuk dan mencoba masuk? Tidak harus soal cinta. Dalam hidup, banyak sekali yang bisa kita analogikan dengan hal ini. Pertemanan, keluarga, pekerjaan, hidup bermasyarakat dan lain sebagainya. Hanya satu hal yang harus selalu kita ingat, jangan pernah memaksa seseorang atau suatu hal bisa berjalan sesuai dengan yang kita harapkan
Jika selama ini, hati terkunci khususnya karena seseorang, belajarlah mengampuni dan memberi kesempatan untuk membuka kembali untuknya. Tidak harus seperti posisi sebelumnya, hanya sebuah sikap dewasa untuk tidak menyimpan dendam dan amarah. Bukankah itu jauh lebih baik? Baik untuk diri sendiri dan orang tersebut?